LITERASI WAKAF - Agama islam memiliki tiga pilar sebagai landasan umatnya dalam menjalani kehidupan, diantaranya adalah akidah, akhlak dan syariah. Akidah dan akhlak bersifat konstan/tetap dan tidak tergerus oleh berbagai faktor perubahan zaman. Sedangkan syariah bersifat flexible. Kegiatan syariah terbagi kedalam dua bagian yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah merupakan hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan muamalah merupakan hubungan manusia dengan manusia.
Ruang lingkup muamalah dalam kehidupan
mencakup banyak hal, salah satu yang terpenting adalah kegiatan ekonomi. Dalam
ekonomi islam, terdapat banyak instrument yang dapat dijadikan sebagai media
pemberdayaan umat menuju kehidupan yang sejahtera seperti ZISWAF (Zakat, Infaq,
Shodaqoh dan Wakaf).
Dari keempat instrument tersebut, wakaf memiliki
peranan yang sangat penting sebagai salah satu sumber dana sosial yang memiliki
keterkaitan akan kesejahteraan umat di samping zakat, infak dan sedekah.
Sejak datangnya agama Islam di Indonesia pada abad ke-7
Masehi, perwakafan tanah telah ada dan berlaku dalam masyarakat
Indonesia berdasarkan hukum Islam dan
hukum adat, meski
belum ada peraturan
perundangan tertulis yang mengaturnya. Adapun
benda yang diwakafkan
pada waktu itu umumnya adalah benda-benda
tak bergerak (seperti tanah) dan eksistensi
wujudnya akan terus ada hingga akhir zaman. Tidakdapat dipungkiri, bahwa
sebagian besar rumah
ibadah, perguruan Islam dan
lembaga-lembaga keagamaan
Islam lainnya dibangun
diatas tanah wakaf.
Namun sangat disayangkan bahwa
persepsi sebagian besar masyarakat Muslim di Indonesia mengenai obyek wakaf masih terbatas
pada tanah dan bangunan
padahal wakaf uang tunai memiliki potensi yang sangat besar.
Menurut perhitungan Badan Wakaf Indonesia
(BWI) potensi wakaf uang di Indonesia mencapai Rp120 triliun per tahun dengan
asumsi ada 100 juta warga negara Indonesia mewakafkan uangnya sebesar Rp100
ribu per bulan. Sementara itu, menurut Mantan Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi
Islam Indonesia (IAEI) tahun 2005, Mustafa Edwin Nasution, mengungkapkan
potensi wakaf uang di Indonesia sangat besar, bisa mencapai Rp 20 triliun per
tahunnya. Menurutnya, jika 10 juta umat Muslim di Indonesia mewakafkan uangnya
mulai dari Rp 1.000 sampai Rp. 100 ribu per bulan, minimal dana wakaf uang yang
akan terkumpul selama setahun bisa mencapai Rp 2,5 triliun. Bahkan, jika
sekitar 20 juta umat Islam di Tanah Air mewakafkan hartanya sekitar Rp 1 juta
per tahun, potensi wakaf uang bisa mencapai Rp 20 triliun.
Diantara faktor penyebab kurangnya
kesadaran masyarakat terhadap wakaf uang adalah minimnya pemahaman masyarakat
terhadap wakaf uang itu sendiri. Masyarakat pada umumnya masih beranggapan
bahwa wakaf berupa harta tetap atau tidak habis pakai. Hal ini menjadi kendala
sosialisasi hukum wakaf tunai khususnya di perdesaan. Masyarakat masih
beranggapan wakaf adalah harta tak bergerak, seperti tanah, masjid, kuburan. Sehingga
literasi terkait hukum wakaf uang tunai berdasarkan persfektif islam sangatlah
penting.
Jika ditilik pada sumber hukum islam yang
pertama yaitu Al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang dapat digunakan sebagai
landasan diperbolehkannya wakaf uang tunai, diantaranya adalah Surat Ali Imran
ayat 92 yang artinya: “Kamu tidak akan memperoleh kebaikan, kecuali kamu
belanjakan sebagian harta yang kamu senangi”. Ayat di atas merupakan anjuran dari Allah
agar kaum muslimin menginfakkan harta yang disenangi. Menginfakkan harta yang
disenangi merupakan sebuah pengorbanan besar dari seorang muslim terhadap agama
Allah. Dalam konteks ini, perbuatan wakaf termasuk mengorbankkan harta yang
dicintai. Wakaf tunai dengan menggunakan uang atau surat berharga termasuk dari
model wakaf yang sangat dianjurkan dalam ayat ini. Dengan wakaf tunai,
seseorang bisa dianggap mengobrankan harta yang dicintainya. Dengan demikian,
wakaf tunai hukumnya sunnah dan sangat dianjurkan dalam Islam.
Berdasarkan tinjauan hadist Rasulullah SAW
dan para sahabat
pernah mewakafkan masjid, tanah, sumur,
kebun dan kuda. Berikut ini adalah beberapa
contoh wakaf yang terjadi
di masa Rasuluallah
SAW: “Dari Anas
berkata: Ketika Rasulullah SAW
datang ke Madinah
dan menyuruh untuk
membangun masjid, maka beliau
bertanya: Wahai bani
Najjar, kalian mempercayakan kebun kalian
ini kepadaku? Mereka
menjawab: Demi Allah,
kami tidak meminta harganya
kecuali kepada Allah
SWT. Maka Rasulullah
SAW mengambil alih kebun itu dan menjadikannya sebagai masjid.” (HR
Bukhari) (Shahih Bukhari, 2000: 270). Walaupun pada zaman Rasulullah dan para
sahabat wakaf biasanya mengacu pada benda berbentuk tanah dan bangunan. Tetapi,
seiring perkembangan zaman seperti sekarang ini, tidak dapat dipungkiri bahwa
wakaf juga mengalami perubahan seperti transaksi wakaf tunai yang dijalankan
dengan dukungan perbankan.
Sejalan dengan keterangan diatas, wakaf tunai
jika ditinjau
dengan maslahat mursalah dapat dihukumi jawaz atau
boleh karena menimbulkan
dan membawa kemaslahatan bagi
umat Islam. Kemaslahatan
itu masuk ke dalam
jenis hajjiyyat
karena diperlukan oleh
manusia. Umat Islam
di masa modern ini tidak terlepas dari transaksi modern seperti ATM,
kartu kredit dan sebagainya. Karena itulah wakaf tunai diperbolehkan dalam
Islam.
Selain daripada itu, terdapat fatwa MUI
yang dapat memperkuat argumentasi diperbolehkannya wakaf uang tunai. Pada
tanggal 11 Mei 2002, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan
fatwa tentang wakaf tunai yang dapat disimpulkan sebagai berikut; 1) Wakaf uang
(cash waqaf) adalah waqaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga
atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Termasuk ke dalam pengertian uang
adalah surat-surat berharga. 2) Wakag uang hukumnya jaawaz (boleh). 3) Wakaf
uang hanya boleh disalurkan untuk hal-hal yang diperbolehkan secara syar'i. 4)
Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual,
dihibahkan atau diwariskan.
0 Komentar