Literasi Wakaf - Berdasarkan Pasal 1 dan Pasal 9 UU No.41
tahun 2004 tentang wakaf, nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf
dari wakif (orang yang berwakaf) untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan
peruntukannya, dapat berupa perseorangan, organisasi dan badan hukum. Istilah
lain dari Nazhir yaitu Qoyyim dan Mutawalli.
Peran nazhir sebagai pemimpin dalam lembaga
wakaf memiliki tugas dan kewajiban yang cukup berat, hal ini bertujuan agar
tercapai kemanfaatan maksimal pengelolaan harta wakaf sesuai dengan harapan
wakif secara khusus dan kaum muslimin secara umum. Maka diperlukan nazhir professional yang memiliki beberapa kriteria diantaranya
seperti human skill, human tehnical dan human
relation yang mumpuni.
Human skill merupakan keahlian yang harus dimiliki
seorang nazhir berkenaan dengan amanah dalam mengembangkan harta wakaf dalam
bidang tertentu. Terdapat beberapa hal penting sebagai pondasi dasar dari
kriteria human skill ini yaitu: 1) Jika ditinjau dari sisi personal,
nazhir diharuskan memiliki kredibilitas moral yang baik, tercermin dari sifat
jujur, adil dan amanah, 2) Nazhir harus menguasai ilmu-ilmu syariah dan fikih
muamalah khususnya yang berkaitan dengan wakaf, 3) Nazhir harus menguasai
bidang ilmu keuangan, managemen, akutansi dan ilmu ekonomi islam. Tiga pondasi
dasar dari human skill tersebut dapat nazhir tempuh melalui pendidikan,
sehingga salah satu poros tolak ukur dari human skill ini merupakan
tingkat pendidikan.
Human tehnical berkaitan dengan kemampuan nazhir dalam
mengelola harta benda wakaf. Pengelolaan harta benda wakaf ini harus bersifat
terbuka (transparan). Terdapat beberapa prinsip yang harus nazhir pegang sebagai
pondasi dasar dari kriteria human tehnical ini yaitu: 1) Nazhir harus
memberikan informasi secara tepat, memadai, jelas, akurat, dan dapat
dibandingkan. 2) Nazhir harus memegang prinsip akuntabilitas dimana ia harus
menetapkan tanggung jaawab yang jelas dari setiap komponen organisasi selaras
dengan visi, misi, sasaran usaha, dan strategi lembaga. 2) Nazhir harus
mempunyai tanggung jawab (responsibility) dibuktikan dengan manajerial
yang transparan dan responsive. 3) Nazhir harus menerapkan prinsip indepedensi dengan
cara mampu menghindari terjadinya dominasi yang tidak wajar oleh stakeholders.
Human relation adalah jaringan yang harus dibangun berkaitan dengan kepentingan pengelolaan dan pengembangan wakaf.
Pengembangan jaringan menjadi sesuatu yang asasi dalam mencapai tujuan produktif
wakaf. Sebab tanpa jaring prinsip permintaan dan penyaluran (supply and
demand) tidak dapat berjalan dengan stabil. Jaringan dapat dibangun melalui
kerjasama dengan pihak ketiga. Kerjasama dapat juga berbentuk kemitraan yang
dibangun atas dasar saling menguntungkaan, seperti investasi, membuka badan
usaha, menggalang swadaya umat dan cara lain yang dapat membangun jaringan
pemberdayaan wakaf produktif.
Tugas Nazhir profesional tidak terhenti
sampai pada pengelolaan harta wakaf saja. Ia masih memiliki tugas untuk
mendistribusikan hasil atau manfaat wakaf yang telah dikelola kepada
pihak-pihak yang berhak menerimanya (Mauquf ‘alaih). Nazhir harus membagikan
hasil wakaf kepada para mustahik. Pembagian hasil wakaf harus dilakukan
sesegera mungkin oleh Nazhir kecuali ada kebutuhan mendesak, seperti biaya
perawatan harta wakaf atau melunasi kewajiban yang berkaitan dengan harta
wakaf. Ini karena, hal-hal tersebut harus didahulukan ketimbang menyerahkan
hasil wakaf kepada mustahik. Semua ketentuan pendistribusian hasil wakaf kepada
para mustahik harus berdasarkan ketentuan yang dipersyaratkan Wakif.
Pendistribusian manfaat hasil pengelolaan
dan pengembangan harta wakaf dapat dilakukan secara langsung dan tidak
langsung. Yang dimaksud dengan pendistribusian secara langsung adalah program
pembinaan dan pemberdayaan masyarakat yang secara langsung dikelola oleh
Nazhir. Hal ini dapat dilakukan apabila memenuhi persyaratan: (1) Program
pembinaan dan pemberdayaan masyarakat dijalankan sesuai dengan syari’ah dan
peraturan perundang-undangan, seperti program sosial dan umum berupa
pembangunan fasilitas umum. Program pendidikan sekolah dengan biaya murah untuk
masyarakat tidak mampu dan pelatihan ketrampilan. Program kesehatan berupa
bantuan pengobatan bagi masyarakat miskin dan penyuluhan ibu hamil dan
menyusui. Program ekonomi berupa pembinaan dan bantuan modal usaha mikro,
penataan pasar tradisional dan pengembangan usaha pertanian dalam arti luas. Dan
program dakwah berupa penyediaan da’i dan mubaligh, bantuan guru, bantuan bagi
imam dan marbot masjid; (2) Tepat sasaran; dan (3) Berda pak pada pengurangan
kemiskinan dan membuka lapangan pekerjaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan
pendistribusian secara tidak langsung adalah program pembinaan dan pemberdayaan
masyarakat melalui kemitraan dengan lembaga pemberdayaan lain yang memenuhi
kreteria kelayakan kelembagaan dan profesional. Hal ini dapat dilakukan
melalui: lembaga pengelola zakat, baitul mal wa tamwil, lembaga kemanusiaan
nasional, lembaga pemberdayaan masyarakat nasional, yayasan atau organisasi
kemasyarakatan, dan lembaga lain baik berskala nasional maupun internasional
yang melaksanakan program pembinaan dan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan syari’ah
dan peraturan perundang-undangan (Peraturan BWI No. 4 tahun 2010: Pasal 8-10).
0 Komentar